Aturan Bea Keluar RI Bikin Rontok Industri Sawit Malaysia
02 Juli 2012
Admin Website
Artikel
3838
BANDUNG. Kebijakan bea keluar (BK) atau pajak ekspor
sawit yang dilakukan oleh Indonesia berdampak pada industri sawit di
Malaysia. Meski menjadi negari produsen sawit, Negeri Jiran itu masih
mengimpor sawit dari Indonesia untuk diolah.
Direktur Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Aryan Wargadalam mengatakan sejak pemberlakuan BK atas CPO efektif, industri hilir sawit Malaysia khususnya untuk olein bisa anjlok hingga 50%.
"Dia kan membutuhkan bahan baku dari kita. Sejak pemberlakuan BK, pasokan ke sana berkurang, utilisasi produksinya anjlok menjadi 50%. Artinya, pemberlakuan BK itu ampuh," kata Direktur Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Aryan Wargadalam di acara diskusi Forwin, di Lembang, Bandung, Minggu (1/7/2012)
Lebih lanjut, Aryan menyebutkan saat ini Malaysia lebih maju dalam hilirisasi industri berbasis CPO atau sawit mentah. Malaysia memproduksi 100 turunan produk CPO, sedangkan Indonesia hanya memproduksi sekitar 47 turunan produk CPO.
"Kita memacu ke sana. Hilirisasi. Dan, akan menghasilkan nilai tambah berlipat. Semakin ke hilir, nilai tambahnya semakin tinggi," ujar Aryan.
Catatan dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sait Indonesia (GAPKI), saat ini ada sebanyak 1.911 industri sawit di Indonesia. Menghasilkan 23,5 juta ton CPO dari area 8,2 juta hektar lahan.
Sementara itu disisi lain, Gabungan Pengusaha Kelapa Sait Indonesia (GAPKI) meminta pemerintah agar penetapan besaran bea keluar (BK) produk hilir CPO perlu dikaji kembali untuk disempurnakan. Pasalnya, pemberlakuan BK atas produk CPO dan turunannya dinilai tidak efektif.
"Level BK untuk produk hilir sebaiknya di-nol-kan dan level untuk CPO dikurangi. Kalau hulu dan hilir sama-sama dikenakan BK, tidak efektif. Perlu disempurnakan," kata Direktur Eksekutif GAPKI, Fadhil Hasan
Menurut Fadhil penerapan BK yang maksimal bisa mencapai 25% berpotensi menyebabkan penyelundupan pasalnya petugas bea dan cukai tidak bisa membedakan antara CPO dan produk turunan.
"Kalau besaran BK itu dievaluasi, yang hilir dinolkan, tujuan hilirisasi bisa tercapai. Dan, distorsi terhadap industri diminimalkan. Besaran BK CPO hingga 25% itu menyebabkan smuggling. Dirjen Bea Cukai tidak tahu beda CPO dan turunannya," kata Fadhil.
DIKUTIP DARI DETIK, MINGGU, 1 JULI 2012
Direktur Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Aryan Wargadalam mengatakan sejak pemberlakuan BK atas CPO efektif, industri hilir sawit Malaysia khususnya untuk olein bisa anjlok hingga 50%.
"Dia kan membutuhkan bahan baku dari kita. Sejak pemberlakuan BK, pasokan ke sana berkurang, utilisasi produksinya anjlok menjadi 50%. Artinya, pemberlakuan BK itu ampuh," kata Direktur Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Aryan Wargadalam di acara diskusi Forwin, di Lembang, Bandung, Minggu (1/7/2012)
Lebih lanjut, Aryan menyebutkan saat ini Malaysia lebih maju dalam hilirisasi industri berbasis CPO atau sawit mentah. Malaysia memproduksi 100 turunan produk CPO, sedangkan Indonesia hanya memproduksi sekitar 47 turunan produk CPO.
"Kita memacu ke sana. Hilirisasi. Dan, akan menghasilkan nilai tambah berlipat. Semakin ke hilir, nilai tambahnya semakin tinggi," ujar Aryan.
Catatan dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sait Indonesia (GAPKI), saat ini ada sebanyak 1.911 industri sawit di Indonesia. Menghasilkan 23,5 juta ton CPO dari area 8,2 juta hektar lahan.
Sementara itu disisi lain, Gabungan Pengusaha Kelapa Sait Indonesia (GAPKI) meminta pemerintah agar penetapan besaran bea keluar (BK) produk hilir CPO perlu dikaji kembali untuk disempurnakan. Pasalnya, pemberlakuan BK atas produk CPO dan turunannya dinilai tidak efektif.
"Level BK untuk produk hilir sebaiknya di-nol-kan dan level untuk CPO dikurangi. Kalau hulu dan hilir sama-sama dikenakan BK, tidak efektif. Perlu disempurnakan," kata Direktur Eksekutif GAPKI, Fadhil Hasan
Menurut Fadhil penerapan BK yang maksimal bisa mencapai 25% berpotensi menyebabkan penyelundupan pasalnya petugas bea dan cukai tidak bisa membedakan antara CPO dan produk turunan.
"Kalau besaran BK itu dievaluasi, yang hilir dinolkan, tujuan hilirisasi bisa tercapai. Dan, distorsi terhadap industri diminimalkan. Besaran BK CPO hingga 25% itu menyebabkan smuggling. Dirjen Bea Cukai tidak tahu beda CPO dan turunannya," kata Fadhil.
DIKUTIP DARI DETIK, MINGGU, 1 JULI 2012