Bea Keluar CPO di Bawah 25 Persen
11 Mei 2011
Admin Website
Artikel
4702
JAKARTA--MICOM: Bea keluar minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) diharapkan tidak sampai 25 persen, setelah aturan pengenaan dan penetapan bea keluar ekspor direvisi.
"Batas atas 25 persen akan diturunkan," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Deddy Saleh, di Jakarta, Rabu (11/5), tentang pokok-pokok revisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar.
Selain menurunkan batas atas tarif bea keluar, Deddy menjelaskan, revisi struktur bea keluar rencananya juga meliputi penaikkan batas harga bawah pengenaan tarif bea keluar yang sampai saat ini masih US$700 per ton.
"Batas bawah kemungkinan naik menjadi US$750 per ton. Jadi bila harga kurang dari itu tidak dikenakan bea keluar. Itu akan membantu petani," katanya.
Revisi aturan, ia melanjutkan, juga meliputi penggunaan harga CPO di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) sebagai dasar penghitungan harga referensi untuk penetapan tarif bea keluar selain harga CPO internasional di bursa komoditi Rotterdam, Belanda.
Namun, kata dia, penetapan tarif bea keluar tetap dilakukan secara progresif dengan mengacu pada harga CPO internasional, tidak seragam (flat) seperti yang diusulkan sebagian pengusaha dan petani kelapa sawit.
"Tidak mungkin flat, apalagi usulnya hanya tiga persen dan lima persen. Kalau 10 persen mungkin diterima, tapi itu malah akan merugikan pengusaha kalau harga internasional turun," katanya.
Menurut Deddy, saat ini pemerintah sedang melakukan pembahasan akhir revisi penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar.
"Sore nanti kami harap bisa dibahas dan diputuskan dalam rapat Kementerian Koordinator Perekonomian. Kalau sudah disepakati dan peraturannya terbit mudah-mudahan bulan depan sudah bisa berlaku," katanya.
Lebih lanjut, Deddy menjelaskan, pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar CPO, antara lain untuk mendorong pertumbuhan industri hilir sawit dan menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri.
Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor CPO dan produk turunannya, kata dia, juga sebagian digunakan untuk membantu petani dan mendukung pelaku usaha melalui pembangunan infrastruktur.
Namun, menurut Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASI), Asmar Arsjad, selama ini petani tidak terlalu merasakan bantuan pemerintah dari penerimaan bea keluar.
"Jadi lebih baik nol saja bea keluarnya. Kalau tetap memaksa ya flat tiga persen dan penerimaannya dikembalikan untuk membantu petani. Selama ini kalau pajak ekspornya besar, petani juga yang tertekan," katanya.
Penerapan kebijakan bea keluar, kata Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, juga belum menunjukkan dampak bermakna terhadap peningkatan industri hilir sawit.
Mereka meminta pemerintah memperbaiki struktur penetapan bea keluar CPO dan produk turunannya supaya benar-benar bermanfaat bagi petani dan pelaku industri pengolahan minyak kelapa sawit.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, RABU, 11 MEI 2011
"Batas atas 25 persen akan diturunkan," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Deddy Saleh, di Jakarta, Rabu (11/5), tentang pokok-pokok revisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar.
Selain menurunkan batas atas tarif bea keluar, Deddy menjelaskan, revisi struktur bea keluar rencananya juga meliputi penaikkan batas harga bawah pengenaan tarif bea keluar yang sampai saat ini masih US$700 per ton.
"Batas bawah kemungkinan naik menjadi US$750 per ton. Jadi bila harga kurang dari itu tidak dikenakan bea keluar. Itu akan membantu petani," katanya.
Revisi aturan, ia melanjutkan, juga meliputi penggunaan harga CPO di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) sebagai dasar penghitungan harga referensi untuk penetapan tarif bea keluar selain harga CPO internasional di bursa komoditi Rotterdam, Belanda.
Namun, kata dia, penetapan tarif bea keluar tetap dilakukan secara progresif dengan mengacu pada harga CPO internasional, tidak seragam (flat) seperti yang diusulkan sebagian pengusaha dan petani kelapa sawit.
"Tidak mungkin flat, apalagi usulnya hanya tiga persen dan lima persen. Kalau 10 persen mungkin diterima, tapi itu malah akan merugikan pengusaha kalau harga internasional turun," katanya.
Menurut Deddy, saat ini pemerintah sedang melakukan pembahasan akhir revisi penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar.
"Sore nanti kami harap bisa dibahas dan diputuskan dalam rapat Kementerian Koordinator Perekonomian. Kalau sudah disepakati dan peraturannya terbit mudah-mudahan bulan depan sudah bisa berlaku," katanya.
Lebih lanjut, Deddy menjelaskan, pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar CPO, antara lain untuk mendorong pertumbuhan industri hilir sawit dan menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri.
Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor CPO dan produk turunannya, kata dia, juga sebagian digunakan untuk membantu petani dan mendukung pelaku usaha melalui pembangunan infrastruktur.
Namun, menurut Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASI), Asmar Arsjad, selama ini petani tidak terlalu merasakan bantuan pemerintah dari penerimaan bea keluar.
"Jadi lebih baik nol saja bea keluarnya. Kalau tetap memaksa ya flat tiga persen dan penerimaannya dikembalikan untuk membantu petani. Selama ini kalau pajak ekspornya besar, petani juga yang tertekan," katanya.
Penerapan kebijakan bea keluar, kata Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, juga belum menunjukkan dampak bermakna terhadap peningkatan industri hilir sawit.
Mereka meminta pemerintah memperbaiki struktur penetapan bea keluar CPO dan produk turunannya supaya benar-benar bermanfaat bagi petani dan pelaku industri pengolahan minyak kelapa sawit.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, RABU, 11 MEI 2011