Ketika Saham Asing Dibatasi di Perkebunan
17 September 2014
Admin Website
Berita Nasional
4587
JAKARTA. Rencana pembatasan saham kepemilikan asing di perkebunan maksimal 30
persen batal masuk dalam revisi Undang-Undang (RUU) Perkebunan.
Kementerian Pertanian dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat
pembatasan saham asing itu akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
"Soal pembatasan saham asing di sektor perkebunan itu
masalah krusial, poin itu agak sulit jika harus diselesaikan dalam
jangka waktu beberapa hari ke depan, harus diakui itu memang berat. Tapi
Undang-Undang harus selesai jadi saya usul agar (soal saham asing) itu
tidak dimasukkan dalam Undang-Undang tapi cukup diatur dalam Peraturan
Pemerintah," ujar Menteri Pertanian Suswono saat raker dengan Komisi IV
(15/9).
Menurut dia, pembahasan UU tersebut sudah menjadi komitmen dan harus dibahas pada sisa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini. Pasalnya kata Suswono, pembahasan tersebut merupakan tindak lanjut judicial review beberapa pasal dalam UU Perkebunan. "Ada dua pasal kalau tidak salah yang dibatalkan, oleh karena itu tentu harus ada revisi dalam undang-undang itu," terangnya.
Dirjen Perkebunan Kementan Gamal Nasir mengatakan pihaknya akan membahas soal besaran pembatasan kepemilikan asing di bidang perkebunan untuk dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah. "Lazimnya tidak ada angka nominal. Nanti kami lihat pembatasannya bagaimana. Saya khawatir investasi asing tidak mau masuk ke hilir. Nanti kami aturlah karena ini menyangkut rakyat," kata dia.
Semua jenis perkebunan nanti akan dimasukkan dalam PP tersebut, kecuali perkebunan kelapa sawit. Alasannya, tidak etis selama ini negara mengundang asing untuk berinvestasi di perkebunan sawit dan petani rakyat menikmati hasilnya namun tiba-tiba dibatasi.
"Kami juga perlu mengantisipasi kalau saja dia (investor asing) tidak mau nanti industri dalam negeri tidak bisa berjalan. Ini memang kondisional dan belum dibahas kepada stakeholder," tukasnya.
Wakil Ketua Komisi IV Herman Khaeron mengatakan draft soal pembatasan itu tetap dicantumkan Undang-Undang. Namun bedanya, pasal yang membatasi itu tidak dicantumkan dalam bentuk angka.
"Karena ini Undang-Undang bahwa pembatasan ini adalah afirmatif legislasi, nanti kuantitas angka diserahkan kepada peraturan pemerintah (PP). Ini sama dengan Undang-Undang investasi yang tidak membatasi secara kuantitatif tetapi diserahkan ke PP," katanya.
Ia mengatakan pembatasan itu dilatari fakta bahwa perkebunan tidak bisa dikategorikan satu kategori saja tetapi banyak dan harus jadi perhatian. Sehingga dalam penetapan, Undang-Undang itu sifatnya hanya pendelegasian saja. Herman meminta pengusaha jangan khawatir terhadap Undang-Undang Perkebunan sebab pihaknya mendalami setiap pendapat dan membahasnya bersama pemerintah. "Biar nanti pemerintah yang menentukan besarannya berapa," ungkapnya.
Herman mengatakan yang menjadi sorotan DPR saat ini justru mengenai tumpang tindih izin yang selalu berganti seiring pergantian pimpinan daerah. Maka dari itu pihaknya ingin hal itu tidak lagi terjadi. Pasalnya, tidak bisa dibangun perkebunan yang luas tanpa ada blue print yang mengerucut pada perencanaan nasional.
"Perlu ada blue print berapa hektare untuk perkebunan sawit. Sehingga ke depan Pemda secara inline mengikuti perencanaan pusat," jelasnya. (wir/jpnn/che/k15)
SUMBER : KALTIM POST, RABU, 17 SEPTEMBER 2014