Boikot Ekspor CPO AS tidak Akan Berdampak Banyak pada Indonesia
05 Februari 2012
Admin Website
Artikel
5087
JAKARTA. Indonesia sedang mempersiapkan sanggahan atas
notifikasi pemerintah AS terkait kandungan C02 dalam CPO Indonesia dan
Malaysia yang berada di bawah standar yang ditetapkan negara tersebut,
sehingga dianggap merusak lingkungan.
Atas masalah ini, AS memboikot ekspor CPO Malaysia dan Indonesia sampai kedua negara memberikan notifikasi tanggapan paling lambat pada 27 Febuari 2012.
Namun demikian, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menegaskan boikot impor CPO oleh AS ini tidak akan berdampak banyak pada ekspor Indonesia. Pasalnya, eksposur eskpor CPO Indonesia ke negara Paman Sam tersebut lebih sedikit dibanding Malaysia.
"Yang paling kena dampak nantinya adalah malaysia, karena ekspor kita ke sana (AS) relatif sedikit. Tapi Indoneia tetap dukung langkah untuk ajukan keberatan atas apa yang disampaikaan AS," tegas Bayu.
Berdasarkan data Kemendag, ekspor CPO Indonesia ke AS berkisar antara 1-1,5 ton tiap tahunnya. Sementara secara keseluruhan, hasil produksi CPO Indonesia pada tahun 2011 sebesar 23 juta ton. Dari angka tersebut, 17,5 juta ton diekspor ke berbagai negara dengan Chna sebagai pembeli utama.
Seperti diketahui, untuk mendukung program green product yang sedang digiatkan oleh Amerika, negara tersebut menetapkan standar minimum kandungan CO2 di level 20%. Sementara berdasarkan penelitian NODA EPA (Notice of Data Availability Environmental Protection Agency's ), CPO Indonesia dan Malaysia hanya 17%. Maka dari itu pada 28 Januari lalu, AS mengirimkan notifikasi kepada Indonesia dan memberi waktu hingga 27 Febuari untuk memberikan sanggahan.
Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Kemendag Gusmardi Bustami menegaskan sebelum tengat waktu yang ditetapkan oleh AS.
"Sampai tanggal 27 Februari, kita akan kirim sanggahan dan nanti mereka akan evaluasi apakah sanggahan yang kita sampaikan benar. Kalau sampai itu benar maka dia akan cabut (notifikasi)," jelasnya.
Pemerintah Indonesia, lanjut Gusmardi, akan memberikan pembuktian bahwa CPO Indonesia sudah berada di level tersebut. "Nah kita harus buktikan bahwa kita sudah dilevel itu sebenarnya. Kalau ternyata kita tidak bisa defend itu (Amerika) tidak akan ada yang mau beli," tutur Gusmardi.
Lebih jauh Gusmardi menjelaskan isu soal CPO ini berhembus lantaran adanya kompetisi sumber bahan bakar bio diesel kendaraan bermotor di AS. Selama ini, selain menggunakan CPO, mereka juga menggunakan bunga matahari dan minyak kedelai. Kedua produk ini banyak dihasilkan oleh negara-negara barat. Sementara penggunaan CPO sebagai bahan bakar biodiesel kini mendominasi.
"Ini (minyak kedelai dan bunga matahari) bisa terancam. Makanya digunakan gerakan-gerakan semacam ini," jelas Gusmardi.
Tudingan-tudingan miring AS terhadap CPO Indonesia juga pernah berhembus pada tahun 1990-an. Saat itu, AS menilai konsumsi minyak kelapa sawit yang berlebihan akan menimbulkan penyakit jantung.
"Dihembuskan isu bahwa orang yang mengkonsumsi minyak sawit lebih gampang terkena penyakit jantung. Padahal tidak ada efeknya. Bahkan kelapa sawit mengandung zat yang bersifat antibody. Itu dihembuskan dan dibuktikan ternyata salah," tegasnya.
Atas masalah ini, AS memboikot ekspor CPO Malaysia dan Indonesia sampai kedua negara memberikan notifikasi tanggapan paling lambat pada 27 Febuari 2012.
Namun demikian, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menegaskan boikot impor CPO oleh AS ini tidak akan berdampak banyak pada ekspor Indonesia. Pasalnya, eksposur eskpor CPO Indonesia ke negara Paman Sam tersebut lebih sedikit dibanding Malaysia.
"Yang paling kena dampak nantinya adalah malaysia, karena ekspor kita ke sana (AS) relatif sedikit. Tapi Indoneia tetap dukung langkah untuk ajukan keberatan atas apa yang disampaikaan AS," tegas Bayu.
Berdasarkan data Kemendag, ekspor CPO Indonesia ke AS berkisar antara 1-1,5 ton tiap tahunnya. Sementara secara keseluruhan, hasil produksi CPO Indonesia pada tahun 2011 sebesar 23 juta ton. Dari angka tersebut, 17,5 juta ton diekspor ke berbagai negara dengan Chna sebagai pembeli utama.
Seperti diketahui, untuk mendukung program green product yang sedang digiatkan oleh Amerika, negara tersebut menetapkan standar minimum kandungan CO2 di level 20%. Sementara berdasarkan penelitian NODA EPA (Notice of Data Availability Environmental Protection Agency's ), CPO Indonesia dan Malaysia hanya 17%. Maka dari itu pada 28 Januari lalu, AS mengirimkan notifikasi kepada Indonesia dan memberi waktu hingga 27 Febuari untuk memberikan sanggahan.
Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Kemendag Gusmardi Bustami menegaskan sebelum tengat waktu yang ditetapkan oleh AS.
"Sampai tanggal 27 Februari, kita akan kirim sanggahan dan nanti mereka akan evaluasi apakah sanggahan yang kita sampaikan benar. Kalau sampai itu benar maka dia akan cabut (notifikasi)," jelasnya.
Pemerintah Indonesia, lanjut Gusmardi, akan memberikan pembuktian bahwa CPO Indonesia sudah berada di level tersebut. "Nah kita harus buktikan bahwa kita sudah dilevel itu sebenarnya. Kalau ternyata kita tidak bisa defend itu (Amerika) tidak akan ada yang mau beli," tutur Gusmardi.
Lebih jauh Gusmardi menjelaskan isu soal CPO ini berhembus lantaran adanya kompetisi sumber bahan bakar bio diesel kendaraan bermotor di AS. Selama ini, selain menggunakan CPO, mereka juga menggunakan bunga matahari dan minyak kedelai. Kedua produk ini banyak dihasilkan oleh negara-negara barat. Sementara penggunaan CPO sebagai bahan bakar biodiesel kini mendominasi.
"Ini (minyak kedelai dan bunga matahari) bisa terancam. Makanya digunakan gerakan-gerakan semacam ini," jelas Gusmardi.
Tudingan-tudingan miring AS terhadap CPO Indonesia juga pernah berhembus pada tahun 1990-an. Saat itu, AS menilai konsumsi minyak kelapa sawit yang berlebihan akan menimbulkan penyakit jantung.
"Dihembuskan isu bahwa orang yang mengkonsumsi minyak sawit lebih gampang terkena penyakit jantung. Padahal tidak ada efeknya. Bahkan kelapa sawit mengandung zat yang bersifat antibody. Itu dihembuskan dan dibuktikan ternyata salah," tegasnya.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, MINGGU, 5 PEBRUARI 2012