Potensi Pendapatan Besar dari Berkebun Sahang
12 Januari 2016
Admin Website
Berita Daerah
6772
SAMARINDA. Bicara lahan, jelas
sawit menang telak. Data Dinas Perkebunan Kaltim menyebutkan, lahan
tanaman baku produksi minyak goreng ini disebut-sebut sudah menembus
bilangan juta hektare (Ha). Tepatnya, 1,2 juta Ha.
Pun dengan jumlah pabrik. Kepastian bahan baku dalam waktu lebih panjang, menarik perusahaan membangun infrastruktur pengolah minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO). Total, 61 pabrik sudah menampung tandan buah segara tanaman ini. Di belakangnya, 26 pabrik mengantre beroperasi.
Jauh berbeda, di sektor hulu, kebun lada hampir seluruhnya digarap mandiri oleh warga. Tanpa kebun inti milik perusahaan tertentu, ataupun kebun produktif dari program kemitraan seperti plasma.
Sejauh ini, hasil panen lada petani langsung dikirim ke luar Kaltim. Ada yang ke Jawa Timur, sebagian lainnya ke Sulawesi.
Padahal, menurut perhitungan ekonomis bisnis ini, keuntungan dapat diserap praktis. Lihat saja, rata-rata harga lada mentah saat ini di kisaran Rp 120-160 ribu per kilogram (kg). Sementara per hektare (ha) kebunnya, memproduksi 900 kilogram per tahun. Artinya, pebisnis dapat meraup pendapatan Rp 144 juta per tahun dari 1 Ha lahan. (silakan lihat infografis)
Belum lagi, bila lada mentah bisa disulap menjadi suatu produk. Jumlah biji merica lebih sedikit dalam produk itu dapat dijual dengan harga berlipat. Tentu cara ini lebih menguntungkan. Namun faktanya, saat ini Kaltim hanya menjual bahan mentah lada dari perkebunan rakyat.
Sebelumnya, Kaltim sempat menarik investor pengolah hasil kebun ini. Yakni PT Matosa Indonesia. Produknya dikenal dengan nama Merica Bubuk Ladaku. Namun, perusahaan tersebut memutuskan hengkang, fokus mengolah pusat industri utama di Jawa Timur.
Kabid Produksi Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim Sukardi menjelaskan, keberadaan lada di Kaltim saat ini adalah berkeluhnya petani tentang sulitnya merawat lada. Tanaman ini memang mesti diawasi sepanjang hari. Sehingga, pendampingan terhadap masyarakat petani lada juga tak bisa sekadarnya.
"Saat ini UPTD Teknologi Terapan Perkebunan (T2P) Disbun Kaltim telah menciptakan produk balsem dari lada, sayur dari lada muda, dan biji lada hitam dalam kemasan. Tapi, ini tidak untuk dijual. Berbeda dengan Merica Bubuk Ladaku yang dipasarkan di dalam dan luar negeri. Mereka memang telah berpindah ke Jawa Timur, tapi masih mengambil lada mentah dari Kaltim," ungkapnya.
Terpisah, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaltim Fauzi A Bachtar mengatakan, berkebun lada tersebut sebenarnya prospeknya bagus. "Tapi, kenapa tak diusahakan? Artinya ini ada kesalahan. Investor tak mungkin menolak berbisnis yang berprospek bila pemerintah memberikan kemudahan," ujarnya.
Dengan kata lain, tambahnya, pemerintah mempersulit investor, bahkan sampai membuatnya lari ke Jawa Timur. “Itu pasti karena biaya operasional lebih murah bila dikerjakan di Jawa Timur. Di Kaltim, biaya operasional mahal. Belum lagi ditambah pajak dan biaya ini itu,” lanjut Fauzi, yang tak asing dengan bisnis lada.
Diterangkannya, hasil produksi sawit tak sebanyak lada. Lada disebut Fauzi lebih banyak menghasilkan. Namun, lada susah diurus. Petani-petani yang dulunya menggarap kebun lada, tak berganti. Hanya pemain baru langsung menggarap kebun sawit, ditambah dengan pihak swasta.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Logistik Kadin Kaltim Sevana Podung menilai, support pembiayaan dari bank untuk bisnis lada ini sangat kurang. Ditambah lagi, lahan lada yang kemungkinan besar diambil perannya oleh tanaman sawit. "Pengolahan industri lada di Kaltim tak ada, bagaimana mau berkembang?" imbuhnya.
Wakil Ketua Bidang Investasi Kadin Kaltim Alexander Sumarno menambahkan, dari sisi investasi, pengolahan tanaman ini ini dianggap pemodal lebih strategis untuk merasa lebih hidup di Jawa Timur. Biaya operasional yang murah dan kemudahan menjual memang menjadi alasan.
"Investor tak mau lagi beroperasi di Kaltim karena tak ditunjang fasilitas. Belum lagi, barang yang keluar dari Kaltim sudah pasti menjadi lebih mahal," urainya.
Sebaiknya, lanjut Alex, investor diberi insentif. Atau paling tidak, mempermudah perizinan dan fasilitas penunjang. “Belum lagi biaya gaji pegawai. UMP (upah minimum provinsi) di Kaltim jauh lebih mahal dibanding Jawa Timur. Kalau di sini harus menggaji pegawai Rp 2 juta ke atas, sementara di Malang tempat beroperasi PT Motasa Indonesia yang memproduksi Merica Bubuk Ladaku, UMK mereka hanya berkisar Rp 1,3 juta. Sangat jauh menguntungkan di sana,” tegasnya. (man/k18)
SUMBER : KALTIM POST, SENIN, 11 JANUARI 2016
Pun dengan jumlah pabrik. Kepastian bahan baku dalam waktu lebih panjang, menarik perusahaan membangun infrastruktur pengolah minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO). Total, 61 pabrik sudah menampung tandan buah segara tanaman ini. Di belakangnya, 26 pabrik mengantre beroperasi.
Jauh berbeda, di sektor hulu, kebun lada hampir seluruhnya digarap mandiri oleh warga. Tanpa kebun inti milik perusahaan tertentu, ataupun kebun produktif dari program kemitraan seperti plasma.
Sejauh ini, hasil panen lada petani langsung dikirim ke luar Kaltim. Ada yang ke Jawa Timur, sebagian lainnya ke Sulawesi.
Padahal, menurut perhitungan ekonomis bisnis ini, keuntungan dapat diserap praktis. Lihat saja, rata-rata harga lada mentah saat ini di kisaran Rp 120-160 ribu per kilogram (kg). Sementara per hektare (ha) kebunnya, memproduksi 900 kilogram per tahun. Artinya, pebisnis dapat meraup pendapatan Rp 144 juta per tahun dari 1 Ha lahan. (silakan lihat infografis)
Belum lagi, bila lada mentah bisa disulap menjadi suatu produk. Jumlah biji merica lebih sedikit dalam produk itu dapat dijual dengan harga berlipat. Tentu cara ini lebih menguntungkan. Namun faktanya, saat ini Kaltim hanya menjual bahan mentah lada dari perkebunan rakyat.
Sebelumnya, Kaltim sempat menarik investor pengolah hasil kebun ini. Yakni PT Matosa Indonesia. Produknya dikenal dengan nama Merica Bubuk Ladaku. Namun, perusahaan tersebut memutuskan hengkang, fokus mengolah pusat industri utama di Jawa Timur.
Kabid Produksi Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim Sukardi menjelaskan, keberadaan lada di Kaltim saat ini adalah berkeluhnya petani tentang sulitnya merawat lada. Tanaman ini memang mesti diawasi sepanjang hari. Sehingga, pendampingan terhadap masyarakat petani lada juga tak bisa sekadarnya.
"Saat ini UPTD Teknologi Terapan Perkebunan (T2P) Disbun Kaltim telah menciptakan produk balsem dari lada, sayur dari lada muda, dan biji lada hitam dalam kemasan. Tapi, ini tidak untuk dijual. Berbeda dengan Merica Bubuk Ladaku yang dipasarkan di dalam dan luar negeri. Mereka memang telah berpindah ke Jawa Timur, tapi masih mengambil lada mentah dari Kaltim," ungkapnya.
Terpisah, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaltim Fauzi A Bachtar mengatakan, berkebun lada tersebut sebenarnya prospeknya bagus. "Tapi, kenapa tak diusahakan? Artinya ini ada kesalahan. Investor tak mungkin menolak berbisnis yang berprospek bila pemerintah memberikan kemudahan," ujarnya.
Dengan kata lain, tambahnya, pemerintah mempersulit investor, bahkan sampai membuatnya lari ke Jawa Timur. “Itu pasti karena biaya operasional lebih murah bila dikerjakan di Jawa Timur. Di Kaltim, biaya operasional mahal. Belum lagi ditambah pajak dan biaya ini itu,” lanjut Fauzi, yang tak asing dengan bisnis lada.
Diterangkannya, hasil produksi sawit tak sebanyak lada. Lada disebut Fauzi lebih banyak menghasilkan. Namun, lada susah diurus. Petani-petani yang dulunya menggarap kebun lada, tak berganti. Hanya pemain baru langsung menggarap kebun sawit, ditambah dengan pihak swasta.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Logistik Kadin Kaltim Sevana Podung menilai, support pembiayaan dari bank untuk bisnis lada ini sangat kurang. Ditambah lagi, lahan lada yang kemungkinan besar diambil perannya oleh tanaman sawit. "Pengolahan industri lada di Kaltim tak ada, bagaimana mau berkembang?" imbuhnya.
Wakil Ketua Bidang Investasi Kadin Kaltim Alexander Sumarno menambahkan, dari sisi investasi, pengolahan tanaman ini ini dianggap pemodal lebih strategis untuk merasa lebih hidup di Jawa Timur. Biaya operasional yang murah dan kemudahan menjual memang menjadi alasan.
"Investor tak mau lagi beroperasi di Kaltim karena tak ditunjang fasilitas. Belum lagi, barang yang keluar dari Kaltim sudah pasti menjadi lebih mahal," urainya.
Sebaiknya, lanjut Alex, investor diberi insentif. Atau paling tidak, mempermudah perizinan dan fasilitas penunjang. “Belum lagi biaya gaji pegawai. UMP (upah minimum provinsi) di Kaltim jauh lebih mahal dibanding Jawa Timur. Kalau di sini harus menggaji pegawai Rp 2 juta ke atas, sementara di Malang tempat beroperasi PT Motasa Indonesia yang memproduksi Merica Bubuk Ladaku, UMK mereka hanya berkisar Rp 1,3 juta. Sangat jauh menguntungkan di sana,” tegasnya. (man/k18)
SUMBER : KALTIM POST, SENIN, 11 JANUARI 2016