RI Belum Bisa Salip Malaysia Soal Ekspor Turunan CPO
14 Februari 2011
Admin Website
Artikel
4161
Jakarta -
Hingga kini Indonesia belum mampu menyaingi Malaysia dalam hal jumlah
ekspor produk turunan sawit atau crude palm oil (CPO). Dari total ekspor
sawit Indonesia di 2010 yang mencapai 15,6 juta ton, hanya 6,8 juta ton
dalam bentuk turunan CPO sementara dalam bentuk CPO sebesar 8,7 juta
ton.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan di acara rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (14/2/2011).
"Perkembangan industri turunan sawit sudah mengalami perkembangan. Namun bila dibandingkan dengan Malaysia kita masih tertinggal jauh. Perkembangannya tak secepat yang kita harapkan," kata Fadhil.
Fadhil menyinggung masalah ini tak terlepas adanya regulasi yang diterapkan pemerintah misalnya soal bea keluar (BK) ekspor produk sawit yang diterapkan progresif.
BK progresif menurutnya sudah tak tepat lagi karena sudah melenceng dari tujuan awalnya menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri.
"Jadi jangan sampai instrumen penerimaan negara, harus dikembalikan ke tujuan semula," jelasnya.
Fadhil menambahkan Gapki sudah menyampaikan usulan ke pemerintah soal penerapan BK flat 3% ketika harga CPO sudah di atas US$ 700 per ton. Ia sangat yakin dengan pola ini bisa menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri dan juga mendorong hilirisasi industri kelapa sawit.
"Tak ada bukti BK progresif telah berhasil mendorong pengembangan industri hilir di dalam negeri," katanya.
Ia juga menambahkan dengan BK progresif telah merugikan petani karena akan mempengaruhi harga tandan buah segar (TBS) sawit. Selain itu, harga CPO Indonesia di luar negeri bisa kalah bersaing dari sisi harga.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan di acara rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (14/2/2011).
"Perkembangan industri turunan sawit sudah mengalami perkembangan. Namun bila dibandingkan dengan Malaysia kita masih tertinggal jauh. Perkembangannya tak secepat yang kita harapkan," kata Fadhil.
Fadhil menyinggung masalah ini tak terlepas adanya regulasi yang diterapkan pemerintah misalnya soal bea keluar (BK) ekspor produk sawit yang diterapkan progresif.
BK progresif menurutnya sudah tak tepat lagi karena sudah melenceng dari tujuan awalnya menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri.
"Jadi jangan sampai instrumen penerimaan negara, harus dikembalikan ke tujuan semula," jelasnya.
Fadhil menambahkan Gapki sudah menyampaikan usulan ke pemerintah soal penerapan BK flat 3% ketika harga CPO sudah di atas US$ 700 per ton. Ia sangat yakin dengan pola ini bisa menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri dan juga mendorong hilirisasi industri kelapa sawit.
"Tak ada bukti BK progresif telah berhasil mendorong pengembangan industri hilir di dalam negeri," katanya.
Ia juga menambahkan dengan BK progresif telah merugikan petani karena akan mempengaruhi harga tandan buah segar (TBS) sawit. Selain itu, harga CPO Indonesia di luar negeri bisa kalah bersaing dari sisi harga.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, SENIN, 14 PEBRUARI 2011