Sistem Indek K Rugikan Petani Sawit Rp11 Triliun per Tahun
28 Maret 2011
Admin Website
Artikel
4477
PEKANBARU--MICOM: Skema penentuan harga Tandan Buah Sawit (TBS)
segar dengan sistem Indek K telah merugikan petani sawit nasional hingga
Rp11 triliun per tahun.
Triliunan pendapatan yang harusnya menjadi hak petani sawit "dicuri" perusahaan melalui sistem Indek K yang membebankan biaya operasional kepada petani sawit.
"Indek K bukti bahwa struktur perkebunan kita masih ditopang oleh kolonialisme. Sistem Indek K melanggengkan konglomerasi yang mencuri hak petani sawit hingga Rp11 triliun per tahun," kata Koordinator Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto kepada Media Indonesia di Pekanbaru, Senin (28/3).
Menurut Darto, tidak ada capaian berarti dari 100 tahun perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari begitu lamanya perusahaan perkebunan milik konglomerat menguasai tanah dan menghasilkan bahan baku yang tidak ada bedanya dengan tahun 1911 di zaman colonial Belanda.
"Dulu dikuasai Belanda, sekarang berpindah ke tangan konglomerat. Transisi demokrasi di Indonesia belum mampu mentransformasikan struktur perkebunan kelapa sawit yang ditopang kolonialisme," tandasnya.
Ia menjelaskan, pola desentralisasi perkebunan ternyata tidak berdampak positif bagi 25 juta petani sawit di Indonesia. Seperti kebijakan revitalisasi perkebunan yang menerapkan pola satu atap dimana petani dilarang mengelola kebun model PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Termasuk kebijakan izin usaha perkebunan yang mengatur 20% untuk rakyat dan 80% untuk perusahaan.
"Ditambah lagi diskriminasi sistem tuan tanah, di mana satu petani sawit hanya berhak mengelola 2 hektare sedangkan 1 perusahaan difasilitasi untuk mengelola hingga 1.000 hektare," tandasnya.
Padahal, lanjut Darto, perkebunan kelapa sawit Indonesia selama 100 tahun sudah mencapai tahap yang mapan. Sekitar 21 juta ton CPO terus di ekspor ke pasar international seperti Belanda, Jerman, China, India, dan Pakistan. Akan tetapi, Indonesia dijebak dengan skenario pasar agar tak boleh berkembang dan menjadi negara bahan baku tanpa skill untuk melaksanakan pengelolaan produk turunan hilir kelapa sawit.
"Hal itu menunjukkan bahwa karakter kepemimpinan kita lemah. Baik itu dari presiden, gubernur, dan bupati tidak lebih berkarakter seperti penjajah colonial Van Den Bosh atau Rafles," tukasnya.
Darto menambahkan, skema Indek K yang merugikan petani sawit sengaja dibiarkan berlangsung oleh pemerintah karena tekanan dari konglomerat perusahaan. Bahkan untuk menekan para petani sawit, pemerintah membangun organisasi boneka APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia).
"APKASINDO dibentuk oleh pemerintah. Karena itu organisasi ini tidak bisa berjuang bagi para petani. Harga TBS sawit selalu dibuat lemah tidak lebih dari Rp2.100 untuk Sumatra, dan Rp2 ribu untuk Kalimantan," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau Hariansyah Usman menegaskan Riau merupakan provinsi nomor satu di Indonesia penghasil kelapa sawit. Dengan luas lahan sekitar 2,8 juta hektar, faktanya 35% saat ini masih berkonflik dengan masyarakat tempatan. Tanah gambut yang ada di Riau, menjadi komoditi bahan baku CPO kelapa sawit dari Riau sangat berkualitas di pasar International.
"Karena itu dalam momentum satu abad kelapa sawit di Indonesia, pemerintah Riau harus melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisi menjadi produsen sawit terbesar di Indonesia," ungkap Hariansyah.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, SENIN, 28 MARET 2011
Triliunan pendapatan yang harusnya menjadi hak petani sawit "dicuri" perusahaan melalui sistem Indek K yang membebankan biaya operasional kepada petani sawit.
"Indek K bukti bahwa struktur perkebunan kita masih ditopang oleh kolonialisme. Sistem Indek K melanggengkan konglomerasi yang mencuri hak petani sawit hingga Rp11 triliun per tahun," kata Koordinator Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto kepada Media Indonesia di Pekanbaru, Senin (28/3).
Menurut Darto, tidak ada capaian berarti dari 100 tahun perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari begitu lamanya perusahaan perkebunan milik konglomerat menguasai tanah dan menghasilkan bahan baku yang tidak ada bedanya dengan tahun 1911 di zaman colonial Belanda.
"Dulu dikuasai Belanda, sekarang berpindah ke tangan konglomerat. Transisi demokrasi di Indonesia belum mampu mentransformasikan struktur perkebunan kelapa sawit yang ditopang kolonialisme," tandasnya.
Ia menjelaskan, pola desentralisasi perkebunan ternyata tidak berdampak positif bagi 25 juta petani sawit di Indonesia. Seperti kebijakan revitalisasi perkebunan yang menerapkan pola satu atap dimana petani dilarang mengelola kebun model PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Termasuk kebijakan izin usaha perkebunan yang mengatur 20% untuk rakyat dan 80% untuk perusahaan.
"Ditambah lagi diskriminasi sistem tuan tanah, di mana satu petani sawit hanya berhak mengelola 2 hektare sedangkan 1 perusahaan difasilitasi untuk mengelola hingga 1.000 hektare," tandasnya.
Padahal, lanjut Darto, perkebunan kelapa sawit Indonesia selama 100 tahun sudah mencapai tahap yang mapan. Sekitar 21 juta ton CPO terus di ekspor ke pasar international seperti Belanda, Jerman, China, India, dan Pakistan. Akan tetapi, Indonesia dijebak dengan skenario pasar agar tak boleh berkembang dan menjadi negara bahan baku tanpa skill untuk melaksanakan pengelolaan produk turunan hilir kelapa sawit.
"Hal itu menunjukkan bahwa karakter kepemimpinan kita lemah. Baik itu dari presiden, gubernur, dan bupati tidak lebih berkarakter seperti penjajah colonial Van Den Bosh atau Rafles," tukasnya.
Darto menambahkan, skema Indek K yang merugikan petani sawit sengaja dibiarkan berlangsung oleh pemerintah karena tekanan dari konglomerat perusahaan. Bahkan untuk menekan para petani sawit, pemerintah membangun organisasi boneka APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia).
"APKASINDO dibentuk oleh pemerintah. Karena itu organisasi ini tidak bisa berjuang bagi para petani. Harga TBS sawit selalu dibuat lemah tidak lebih dari Rp2.100 untuk Sumatra, dan Rp2 ribu untuk Kalimantan," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau Hariansyah Usman menegaskan Riau merupakan provinsi nomor satu di Indonesia penghasil kelapa sawit. Dengan luas lahan sekitar 2,8 juta hektar, faktanya 35% saat ini masih berkonflik dengan masyarakat tempatan. Tanah gambut yang ada di Riau, menjadi komoditi bahan baku CPO kelapa sawit dari Riau sangat berkualitas di pasar International.
"Karena itu dalam momentum satu abad kelapa sawit di Indonesia, pemerintah Riau harus melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisi menjadi produsen sawit terbesar di Indonesia," ungkap Hariansyah.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, SENIN, 28 MARET 2011